Rabu, 17 Agustus 2011

KDRT

Mengenai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dapat kita temui pengaturannya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU KDRT”). Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 ayat [1] UU KDRT).
 
Kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk dari KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huuf a UU KDRT. Dalam kasus di atas, kerabat Anda tidak mau mengakui dirinya mengalami KDRT oleh suaminya dan menolak melapor ke polisi. Dalam hal ini, kita perlu melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU KDRT yang pada intinya menyatakan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT).
 
Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut:
 
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a.      mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.      memberikan perlindungan kepada korban;
c.      memberikan pertolongan darurat; dan
d.      membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
 
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kerabat adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. Permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya. Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
 
Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter

Sabtu, 13 Agustus 2011

penerapan pasal 170 kuhp

Pasal 170 KUHP  mengatur tentang sanksi hukum bagi para pelaku kekerasan terhadap orang atau barang di muka umum. Kalau boleh dikatakan pasal ini adalah  gabungan  pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan suatu perbuatan. Namun bila dibandingkan tentulah berbeda pengertian ataupun tujuan yang diinginkan oleh Pasal 170 KUHP dengan Pasal 351 dan 55 KUHP.
Perlu ketelitian dalam penerapan pasal ini, karena bisa saja menyentuh ketentuan pasl 351. Maka daripada itu sering sekali para penyidik membuat pasal ini jounto 351 dan di tingkat penuntutan Penuntut Umum sering memakai jenis dakwaan Alternatif, dimana nantinya hakim dapat langsung memilih untuk menentukan dakwaan mana yang sekiranya cocok serta sesuai dengan hasil pembuktian di persidangan.[1]
Objek dari perlakuan para pelaku dalam pasal ini bukan saja haruslah manusia tetapi dapat saja berupa benda atau barang. Ini yang menjadi salah satu perbedaan pasal ini dengan Pasal 351 tentang penganiayaan.
Pasal 170 KUHP berbunyi demikian:
(1)   Barang siapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
(2)   Tersalah dihukum:
  1. dengan penjara  selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau kekerasan yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.
  2. dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh
  3. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
(3)   Pasal 89 tidak berlaku
Perlu diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal ini sebagai berikut:
  1. Barangsiapa. Hal ini menunjukkan kepada orang atau pribadi sebagai pelaku.
  2. Di muka umum. Perbuatan itu dilakukan di tempat dimana publik dapat melihatnya
  3. Bersama-sama, artinya dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih. Arti kata bersama-sama ini menunjukkan bahwa perbuata itu dilakukan dengan sengaja (delik dolus) atau memiliki tujuan yang pasti, jadi bukanlah merupakan ketidaksengajaan (delik culpa).
  4. Kekerasan, yang berarti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil dan tidak sah. Kekerasan dalam pasal ini biasanya terdiri dari “merusak barang” atau “penganiayaan”.
  5. Terhadap orang atau barang. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang sebagai korban
Penggunaan pasal ini tidaklah sama dengan penggunaan pasal 351, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan dalam pasal 351, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Seseorang dapat saja mendapat perlakuan kekerasan dari dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah Pasal 351.
Kekerasan yang dilakukan sesuai Pasal 170 sudahlah tentu dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang.
Perbedaan yang paling mendasar Pasal 170 dengan Pasal 351 adalah dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal 351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun di ruang publik terbuka.
Ancaman hukuman Pasal 170 ini lebih berat daripada Pasal 351. Apabila kita bandingkan pada akibat yang ditimbulkan antara kedua pasal ini dengan ancaman hukumannya, maka kita akan mendapati ancaman hukuman pada Pasal 170 lebih berat daripada Pasal 351. Pada Pasal 170, jika korban mengalami luka berat maka si pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, sedangkan pada Pasal 351 dengan akibat yang sama, yaitu luka berat, pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Jika akibat yang ditimbulkan adalah matinya korban, Pasal 170 mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun sedangkn pada Pasal 351 ancaman hukumannya adalah hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Berbicara mengenai luka berat, Pasal 90 KUHP memberikan defenisi luka berat sebagai berikut:
“ Yang dikatakan luka berat pada tubuh yaitu: penyakit atau luka, yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan; tidak lagi memakai salah satu panca indera; kudung (kerompong); lumpuh; berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya; menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu.”
Dari defenisi yang diberikan Pasal 90 KUHP di atas, dapat diterangkan bahwa:
  1. Luka yang dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut ( tentunya dengan referensi pihak yang profesional dan diakui, seperti dokter misalnya) itu bukanlah luka berat.
  2. Luka berat bukan harus selalu berarti luka yang besar. Keadaan yang ditimbulkan, walau sebesar apapun itu, selama sudah membuat proses suatu kegiatan/pekerjaan yang seharusnya dilakukan dengan baik, terhambat secara terus-menerus atau dengan kata lain tidak cakap melakukan pekerjaannya, itu juga termasuk luka berat. Dalam penjelasanya terhadap Pasal 90 ini, R. Soesilo memberi contoh penyanyi yang rusak kerongkongannya sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya.
  3. Luka berat  juga dapat berupa tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera. Panca indera itu berupa penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa lidah dan rasa kulit.
  4. Lumpuh (verlamming) artinya tidak dapat menggerakkan anggota badannya dikategorikan juga sebagai luka berat.
  5. Luka berat tidak harus selalu terlihat dari luar saja. Berobah pikiran dapat juga dikategorikan luka berat ketika hal itu lebih dari 4 (empat minggu). Pikiran terganggu, kacau, tidak dapat memikir lagi dengan normal, semua itu lamanya harus lebih dari empat minggu, jika kurang, tidak termasuk pengertian luka berat.
  6. Tindakan menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu akan mengakibatkan suatu keadaan yang dapat dikategorikan luka berat pada ibu yang mengandung tersebut.
  7. Pengertian mengenai luka berat yang tidak disebutkan dalam Pasal 90 dapat diterima sebagai suatu keadaan yang disebut luka berat sesuai pertimbangan hakim dengan terlebih dahulu mendengarkan keterangan saksi atau dokter yang biasa kita sebut visum et repertum.
Khusus untuk kekerasan terhadap barang, Pasal yang juga mengatur hal ini adalah pasal 406 KUHP ayat (1). Pasal 406 ini juga mengatur jika korban adalah binatang dalam ayat (2). Untuk lebih jelasnya, berikut isi dari Pasal 406:
(1)   Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hak membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi atau menghilangkan sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
(2)   Hukuman serupa itu dikenakan juga kepada orang yang dengan sengaja dan dengan melawan hak membunuh, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat digunakan lagi atau menghilangkan binatang, yang sama sekali atau sebagiannya kepunyaan orang lain.
Ancaman hukumannya adalah lebih ringan karena khusus mengatur tentang objek perlakuan dari perbuatan itu adalah barang dan binatang. Yang menjadi perhatian disini adalah hilangnya hak kepemilikan si empunya atas barang atau binatang, baik kepemilikan sepenuhnya atau sebagian atas barang atau binatang tersebut.

Minggu, 07 Agustus 2011

KITAB UNDANGT-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

Bab I Ketentuan Umum
Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang
Bab III Dasar Peradilan
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu : Penyelidik dan Penyidik
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kedua : Penyidik Pembantu
Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Ketiga : Penuntut Umum
Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
    Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kesatu :Penangkapan

Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
    Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kedua : Penahanan

Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
    Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Ketiga : Penggeledahan

Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
    Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Keempat : Penyitaan

Bab V Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan Badan, Pemasukan Rumah,
    Penyitaan Dan Pemeriksaan Surat Bagian Kelima : Pemeriksaan Surat

Bab VI Tersangka dan Terdakwa
Bab VII Bantuan Hukum
Bab VIII Berita Acara
Bab IX Sumpah atau Janji
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kesatu : Praperadilan
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Kedua : Pengadilan Negeri
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Ketiga : Pengadilan Tinggi
Bab X Wewenang Pengadilan Untuk Mengadili Bagian Keempat : Mahkamah Agung
Bab XI Koneksitas
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kesatu : Ganti Kerugian
Bab XII Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Bagian Kedua : Rehabilitasi
Bab XIII Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
Bab XIV Penyidikan Bagian Kesatu : Penyelidikan
Bab XIV Penyidikan Bagian Kedua : Penyidikan
Bab XV Penuntutan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kesatu : Panggilan dan Dakwaan
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kedua : Memutus Sengketa Mengenai     Wewenang Mengadili
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketiga : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keempat : Pembuktian dan Putusan
    Dalam Acara Pemeriksaan Biasa

Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Kelima : Acara Pemeriksaan Biasa
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Keenam : Acara Pemeriksaan Cepat
Bab XVI Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bagian Ketujuh : Pelbagai Ketentuan
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Banding
Bab XVII Upaya Hukum Bagian Kedua : Pemeriksaan Untuk Kasasi
Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kesatu : Pemeriksaan Tingkat Kasasi
    Demi Kepentingan Hukum

Bab XVIII Upaya Hukum Luar Biasa Bagian Kedua : Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan
    Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap

Bab XIX Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XX Pengawasan Dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Bab XXI Ketentuan Peralihan
Bab XXII Ketentuan Penutup

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

BUKU KESATU: ATURAN UMUM
I
Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-undangan
II
Pidana
III
Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana
IV
Percobaan
V
Penyertaan Dalam Tindak Pidana
VI
Perbarengan Tindak Pidana
VII
Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan
VIII
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana
IX
Arti Beberapa Istilah yang Dipakai dalam Kitab Undang-undang (Ps. 86-102)

Aturan Penutup (Ps. 103)

BUKU KEDUA : KEJAHATAN
I
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara (Ps. 104-129)
II
Kejahatan-kejahatan Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
III
Kejahatan-kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat Serta Wakilnya
IV
Kejahatan Terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak Kenegaraan
V
Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum
VI
Perkelahian Tanding
VII
Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang
VIII
Kejahatan Terhadap Penguasa Umum
IX
Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu
X
Pemalsuan Mata Uang dan Uang Kertas
XI
Pemalsuan Meterai dan Merek
XII
Pemalsuan Surat
XIII
Kejahatan Terhadap Asal-Usul dan Perkawinan
XIV
Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Ps. 281-303 bis)
XV
Meninggalkan Orang yang Perlu Ditolong (Ps. 304-309)
XVI
Penghinaan (Ps. 310-321)
XVII
Membuka Rahasia (Ps. 322-323)
XVIII
Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang (Ps. 324-337)
XIX
Kejahatan Terhadap Nyawa (Ps. 338-350)
XX
Penganiayaan (Ps. 351-358)
XXI
Menyebabkan Mati atau Luka-luka Karena Kealpaan (Ps. 359-361)
XXII
Pencurian (Ps. 362-367)
XXIII
Pemerasan dan Pengancaman (Ps. 368-371)
XXIV
Penggelapan (Ps. 372-377)
XXV
Perbuatan Curang (Ps. 378-395)
XXVI
Perbuatan Merugikan Pemiutang atau Orang yang Mempunyai Hak (Ps. 396-405)
XXVII
Menghancurkan atau Merusakkan Barang (Ps. 406-412)
XXVIII
Kejahatan Jabatan (Ps. 413-437)
XXIX
Kejahatan Pelayaran (Ps. 438-479)
XXIXA
XXX
Pemudahan (Penadahan, Pencetak dan Penerbit) (Ps. 480-485)
XXXI

BUKU KETIGA: PELANGGARAN
I
Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan Kesehatan (Ps. 489-502)
II
Pelanggaran Ketertiban Umum
III
Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum
IV
Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan
V
Pelanggaran Terhadap Orang yang Memerlukan Pertolongan (Ps. 531)
VI
Pelanggaran Kesusilaan
VII
Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman dan Pekarangan
VIII
Pelanggaran Jabatan
IX
Pelanggaran Pelayaran