Sabtu, 10 September 2011

pemerasan

Apakah kata jo bisa dipakai pada dua undang-undang? Bisa, apabila ada ketentuan hukum yang berkaitan dalam dua undang-undang tersebut. Misalnya, pada tindak pidana pemerasan, surat dakwaannya (bisa) menggunakan pasal 11 dan pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 

Rabu, 07 September 2011

dasar BUKTI PERMULAAN YG CUKUP

Menurut pasal 1 angka 14 KUHAP, Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, seseorang dinyatakan menjadi tersangka apabila ada bukti permulaan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
 
Jawaban untuk pertanyaan no. 3 dan 4:
Dalam KUHAP sendiri tidak ada batasan mengenai apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu, pengertian bukti permulaan yang cukup merujuk pada Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana.
 
Merujuk pada kedua peraturan di atas, bukti permulaan yang cukup adalah minimal ada laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah. Jadi, tidak cukup kalau hanya ada laporan dari pelapor. Harus ada minimal satu alat bukti yang sah menurut KUHAP.
 
Mengenai alat bukti yang sah dapat Anda baca di jawaban kami  di sini.
 
Mengenai bukti permulaan dapat Anda baca di artikel ini dan artikel ini.
 
Dasar hukum:
1.      Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
2.      Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol)
3.      Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana

penggelapan n penipuan

Penggelapan dan penipuan diatur dalam pasal-pasal yang berbeda dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP.
 
Penggelapan diatur dalam pasal 372 KUHP. Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Misalnya, penguasaan suatu barang oleh pelaku terjadi karena pemiliknya menitipkan barang tersebut. Atau penguasaan barang oleh pelaku terjadi karena tugas atau jabatannya, misalnya petugas penitipan barang. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasannya yang mana barang/ uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain.
 
Sementara itu penipuan diatur dalam pasal 378 KUHP. Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang.
 
Dilihat dari obyek dan tujuannya, penipuan lebih luas dari penggelapan. Jika penggelapan terbatas pada barang atau uang, penipuan termasuk juga untuk memberikan hutang maupun menghapus piutang.
 
Dalam perkara-perkara tertentu, antara penipuan, penggelapan agak sulit dibedakan secara kasat mata. Sebagai contoh, si A hendak menjual mobil miliknya. Mengetahui hal tersebut B menyatakan kepada A bahwa ia bisa menjualkan mobil A ke pihak ketiga. Setelah A menyetujui tawaran B, kemudian ternyata mobil tersebut hilang.
 
Dalam kasus seperti ini, peristiwa tersebut dapat merupakan penipuan namun dapat juga merupakan penggelapan. Termasuk sebagai penipuan jika memang sejak awal B tidak berniat untuk menjualkan mobil A, namun memang hendak membawa kabur mobil tersebut. Termasuk sebagai penggelapan jika pada awalnya memang B berniat untuk melaksanakan penawarannya, namun di tengah perjalanan B berubah niat dan membawa kabur mobil A.
 
Di bawah ini kami kutipkan pengaturan penggelapan dan penipuan dalam KUHP.
 
Boks: Pengaturan Penggelapan, dan Penipuan dalam KUHP
 
Perbuatan
KUHP
Rumusan
Penggelapan
pasal 372
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Penipuan
pasal 378
Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
 
Demikian penjelasan kami, semoga dapat dipahami.
 
Dasar hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek Van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 732)

keabsahan penangkapan n penahanan

Berdasarkan Pasal 21 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), surat penahanan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
-         Identitas tersangka atau terdakwa;
-         Alasan penahanan;
-         Uraian singkat perkara;
-         Kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan;
-         Tempat ditahan.
 
Selain itu, tembusan dari surat perintah penahanan itu harus diberikan kepada keluarganya (lihat Pasal 21 ayat [3] KUHAP).
 
2.      Untuk menetapkan tersangka, pihak penyidik harus menerbitkan Surat Perintah Dimulai Penyidikan sebagai pemberitahuan kepada Jaksa yang kemudian dilanjutkan proses penyidikan untuk memperoleh nama-nama yang dijadikan tersangka (lihat Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 Nopember 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana). Setelah itu, penyidik memanggil tersangka (serta saksi-saksi) untuk diperiksa. Lebih jauh simak artikel kami, P-18, P-19, P-21, dan Lain-lain.
 
Surat panggilan tersangka diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 112 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa surat panggilan yang sah adalah surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang.
 
Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemanggilan seorang tersangka atau saksi harus memenuhi kedua syarat di atas yaitu:
-         Dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas. Dalam praktiknya, “alasan pemanggilan yang jelas” berarti surat panggilan disertai dengan uraian singkat mengenai perkara beserta pasal-pasal yang disangkakan; dan
-         Dipanggil dengan surat panggilan yang sah (ditandatangani oleh pejabat penyidik yang berwenang).
 
Jadi, yang menentukan keabsahan surat panggilan tersangka adalah adanya tanda tangan dari penyidik yang berwenang dalam surat panggilan tersebut. Sedangkan, tidak dicantumkannya pasal-pasal yang dilanggar/disangkakan, maka hal tersebut tidak membuat surat panggilan tersebut menjadi tidak sah.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:
Undang-Undang. No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

penyalahgunaan narkotika

Definisi narkotika dan definisi prekursor narkotika adalah sebagai berikut:
 
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” (Pasal 1 ayat [1] UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika - “UU Narkotika”)
 
Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.” (Pasal 1 ayat [2] UU Narkotika)
 
UU Narkotika tidak menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud dengan  penyalahgunaan narkotika. Namun, kita dapat melihat pada pengaturan Pasal 1 ayat (15) UU Narkotika yang menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Dengan demikian, dapat kita artikan bahwa penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
 
Dalam hukum pidana, tanpa hak atau melawan hukum ini disebut juga dengan istilah “wederrechtelijk”. Menurut Drs. P.A.F. Lamintang, S.H., dalam bukunya "Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia" (hal. 354-355) wederrechtelijk  ini meliputi pengertian-pengertian:
·         Bertentangan dengan hukum objektif; atau
·         Bertentangan dengan hak orang lain; atau
·         Tanpa hak yang ada pada diri seseorang; atau
·         Tanpa kewenangan.
 
Sedangkan, mengenai peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, merujuk pada Pasal 1 ayat (6) UU Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Lebih lanjut diatur dalam Pasal 38 UU Narkotika bahwa setiap kegiatan peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah. Sehingga, tanpa adanya dokumen yang sah, peredaran narkotika dan prekursor narkotika tersebut dianggap sebagai peredaran gelap.
 
Dalam Pasal 129 UU Narkotika dijabarkan lebih jauh perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar dalam hal ada orang yang tanpa hak atau melawan hukum:
a.      memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b.      memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan Narkotika;
c.      menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
d.      membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.
 
Sedangkan, Pasal 111 sampai Pasal 148 UU Narkotika,termasuk Pasal 132 dan Pasal 137 yang Anda sebutkan adalah mengatur pidana-pidana yang dapat dijatuhkan terhadap para pelaku kejahatan narkotika. Baik terhadap percobaan/permufakatan (Pasal 132) maupun penggunaan harta yang diperoleh dari hasil kejahatan narkotika (Pasal 137), serta perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat Anda lihat pada ketentuan-ketentuan tersebut.
 
Jadi, pada dasarnya yang dimaksud dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika sebagaimana dimaksud dalam UU Narkotika adalah penggunaan atau peredaran narkotika dan prekursor narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar UU Narkotika).
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

Wanprestasi apakah bisa dijadikan penipuan

Sebelum menjawab pertanyaan Saudara ada baiknya kita simak dulu definisi wanprestasi dan penipuan.
 
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk yang timbul dari adanya perjanjian yang dibuat oleh satu orang atau lebih dengan satu orang atau lebih lainnya (obligatoire overeenkomst) (lihat Pasal 1313 KUHPerdata). Wanprestasi dikategorikan ke dalam perbuatan-perbuatan sebagai berikut (Subekti, “Hukum Perjanjian”):
 
a.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
c.      Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
 
Sedangkan, penipuan adalah perbuatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 378 KUHP pada Bab XXV tentang Perbuatan Curang (bedrog). Bunyi selengkapnya Pasal 378 KUHP adalah sebagai berikut:
 
Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.
 
Berdasarkan bunyi pasal di atas unsur-unsur dalam perbuatan penipuan adalah:
 
a.      Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum;
b.      Menggerakkan orang untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang;
c.      Dengan menggunakan salah satu upaya atau cara penipuan (memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan)
 
Unsur poin c di atas yaitu mengenai cara adalah unsur pokok delik yang harus dipenuhi untuk mengkategorikan suatu perbuatan dikatakan sebagai penipuan. Demikian sebagaimana kaidah dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang mengatakan:
 
Unsur pokok delict penipuan (ex Pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku delict untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan sesuatu barang.
 
Oleh sebab itu, dari pertanyaan Saudara maka unsur yang harus dipenuhi apabila perkara perdata berupa wanprestasi dapat dilaporkan pidana apabila perjanjian telah dibuat dengan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
 
Berikut adalah contoh kasus sebagai ilustrasi;
 
A memberikan pinjaman dana kepada B, kemudian B akan melakukan pengembalian dana berikut bunganya dengan menerbitkan cek dengan tanggal yang telah disepakati antara A dan B.
 
Apabila B menerbitkan cek yang disadari olehnya bahwa cek tersebut tidak akan pernah ada dananya, padahal dia telah menjanjikan kepada A bahwa cek tersebut ada dananya, maka perbuatan B dapat dikategorikan sebagai perbuatan penipuan dengan cara tipu muslihat. Hal demikian sebagaimana ditegaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973 tanggal 15-11-1975. Kecuali apabila B tahu cek tersebut memang ada dananya pada saat diterbitkan dan namun pada saat tanggal jatuh tempo dananya tidak ada maka perbuatan B baru dapat dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi murni.
 
Demikian penjelasan dari saya. Semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
2.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No. 73)
 
Putusan:
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 133 K/Kr/1973 tanggal 15-11-1975
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601.K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990

penerapan pasal utk pengedar obat tanpa IZIN

Dari penjelasan yang Anda sampaikan, menurut hemat kami, setidaknya adanya dua tindak pidana yang diduga dilakukan oleh Sinsei tersebut yaitu selain menjadi imigran gelap, Sinsei tersebut juga mengedarkan obat tanpa izin edar.
 
Sebagai imigran gelap, berarti Sinsei tersebut diduga melanggar ketentuan keimigrasian Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Ketentuan keimigrasian antara lain mengatur bahwa setiap Orang Asing yang masuk dan/atau berada di Wilayah Indonesia yang tidak memiliki dokumenPerjalanan dan Visa yang sah dan masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah)(lihat Pasal 119 ayat [1] UU 6/2011).
 
 
Pemerintah juga telah menetapkan bahwa obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar (lihat Pasal 106 ayat [1] jo. Pasal 1 ayat [4] UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Sehingga, apabila Sinsei tersebut mengedarkan obat tanpa izin edar, Sinsei tersebut melanggar Pasal 197 UU 36/2009 yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
 
Larangan untuk mengedarkan obat bagi pihak yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan ini juga dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU 36/2009 bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
 
Sedangkan bagi teman Anda, karena dia telah membantu Sinsei tersebut, maka dapat dipidana dengan pidana penyertaan dan/atau pembantuan (lihat Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana- “KUHP”). Ancaman pidana terhadap pidana penyertaan adalah sama dengan ancaman pidana terhadap pelaku utamanya (dalam hal ini Sinsei tersebut) karena dianggap turut melakukan perbuatan pidana. Sedangkan dalam hal pembantuan, maksimum pidana yang dijatuhkan adalah jumlah pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga karena dianggap membantu dilakukannya kejahatan tapi tidak turut serta melakukan.
 
Yang menjadi penentu dalam hal ini adalah tergantung dari derajat perbuatan yang dilakukan oleh teman Anda. Apakah teman Anda hanya membantu sebagai penerjemah atau juga turut mengedarkan obat tanpa izin edar? Karena teman Anda dan Sinsei tersebut telah ditangkap, pihak penyidik yang kemudian akan menentukan pasal apa saja yang akan dikenakan terhadap mereka berdasarkan pemeriksaan penyidik dan atas dasar bukti permulaan yang cukup. Simak juga artikel jawaban kami: Perbedaan Hak Tersangka dan Terpidana.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.      Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)